Dugaan praktik penimbunan pasir ilegal di Kelurahan Madidir Unet, Kecamatan Madidir, Kota Bitung, Sulawesi Utara, kembali mencoreng wajah kota. Aktivitas yang dikaitkan dengan seorang tokoh bernama Ko Robby ini merugikan negara secara finansial dan menimbulkan keresahan sosial. Kamis 11 September 2025.
Warga setempat menduga pasir ditimbun lalu dikirim melalui jalur laut dari dermaga Indo-Hay menuju Kelapa Dua, Pulau Lembeh, untuk dijual ke luar daerah tanpa izin resmi. Sumber pasokan utama diduga berasal dari kawasan Danowudu dan Tendeki. “Pasir ini bukan untuk rakyat. Semua diangkut keluar, dan kami hanya jadi penonton ketika kekayaan alam kami dirampas,” ujar salah seorang warga Madidir.
Negara diduga mengalami kerugian miliaran rupiah akibat aktivitas ilegal ini. Setiap truk pengangkut pasir rata-rata memuat 7-8 kubik, dengan harga pasar pasir di Bitung berkisar Rp250.000-Rp300.000 per kubik. Jika aktivitas ilegal ini berlangsung puluhan truk per hari, potensi peredaran uang bisa mencapai Rp50-70 juta per hari atau setara Rp1,5-2 miliar per bulan.
Jumlah ini belum termasuk pajak dan retribusi yang hilang dari kas negara. Jika dibiarkan, kerugian negara dalam setahun dapat menembus Rp20 miliar lebih. Angka ini seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas umum, pendidikan, hingga kesehatan masyarakat Bitung.
Lebih ironis lagi, tidak ada kontribusi CSR dari aktivitas ilegal ini. Tidak ada perbaikan jalan, program lingkungan, kompensasi kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi lokal. “Yang ada hanya kerusakan. Jalan rusak, debu di mana-mana, lingkungan rusak. Sementara kami tidak mendapatkan apapun,” tegas warga Madidir.
Masyarakat menilai Polres Bitung terkesan menutup mata. Dugaan adanya “main mata” dengan mafia pasir membuat kepercayaan publik runtuh. “Kami sudah sering lapor, tapi hasilnya nihil. Ada pembiaran yang sistematis,” ungkap seorang aktivis lingkungan.
Warga mendesak Kapolda Sulawesi Utara segera mengambil alih dan mengusut tuntas jaringan mafia pasir ini. Kasus penambangan pasir ilegal bukan hanya terjadi di Bitung, tapi juga di daerah lain seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat.
Masyarakat Kota Bitung menuntut penghentian total aktivitas penimbunan pasir ilegal, pengusutan tuntas aktor intelektual dan jaringan mafia pasir, pemulihan lingkungan, dan kompensasi bagi masyarakat terdampak. Mereka juga menuntut penerapan CSR nyata dan transparan bagi kesejahteraan warga.
“Kalau dibiarkan, ini bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga merusak moral bangsa. Kami minta aparat jangan jadi bagian dari mafia, tapi berdiri di sisi rakyat,” pungkas warga.